Seruan \'Ya Tuhanku dan Allahku\'
Katekese
Berita Terkait
- Hari Raya dalam Kalendarium Liturgi0
- Misa anak anak - 60
- KATEKESE LITURGI0
- Misa Anak-anak – 40
- Arti Penumpangan Tangan Dalam Gereja Katolik0
- MISA ANAK-ANAK – 20
- MISA ANAK-ANAK - 10
- TENTANG EKARISTI0
- Tuguran pada Malam Kamis Putih0
- Tentang Hari Minggu Palma0
Berita Populer
- PERNIKAHAN CAMPUR BEDA AGAMA (dalam pandangan Katolik)
- Penyebab Individu Sulit Menghargai Orang Lain
- Mengurus Pernikahan Di Gereja Katolik
- KOLEKTE & DANA GEREJA
- Apa itu Novena?
- SPIRITUALITAS PERKAWINAN
- Apa Perbedaan antara Penitensi dan Indulgensi?
- Halangan-halangan Nikah (12)
- Mengenal seksi Kerasulan Kitab Suci (KKS) Lebih Dekat
- Cara Menyambut Komuni Kudus

Keterangan Gambar : Katakese
Sering saya mendapatkan pertanyaan, saat konsekrasi, ketika HOSTI KUDUS dan PIALA DARAH KRISTUS diangkat atau diunjukkan, seruan apakah yang paling tepat diucapkan oleh umat? Dkl. pertanyaan itu mengandung makna bahwa pada saat itu umat seolah-olah harus menyerukan sesuatu. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa ada umat yang berseru “Ya Tuhanku dan Allahku” yang merupakan seruan St. Tomas Rasul ketika Yesus menampakkan diri kepada para murid-Nya di mana dia ada bersama yang lain (Lih. Yoh 20,28). Apakah seruan ini sudah tepat? Bagaimana jika diserukan, “Tubuh Kristus, selamatkanlah kami” dan “Darah Kristus, sucikanlah kami”, sebab dengan berseru demikian kita menyatakan pengakuan iman sekaligus penghormatan kita? Ini suatu pertanyaan menarik sekaligus menggelitik. Bagaimana hal ini harus dijawab atau dijelaskan?
Saya akan mencoba menjelaskan demikian. Persoalan di atas bukan soal tepat atau tidak tepat, melainkan soal penghayatan pribadi akan tindakan liturgis dalam Perayaan Ekaristi yang kita rayakan.
Karena ‘pribadi’ maka harus dijelaskan hal itu bukan ‘tindakan bersama’. Apa permasalahannya sehubungan dengan itu? Kalau orang bertanya, doa apakah yang paling tepat ketika imam mengangkat hosti dan anggur pada saat konsekrasi, maka jawabannya bisa bervariasi, kadang tergantung siapa yang menjawab atau menjelaskan. Saya ingin menjawab dengan cara seperti ini (mudah-mudahan bisa membantu):
Dalam Liturgi ada yang kita kenal dengan “tindakan bersama” dan “tindakan pribadi” artinya ada tindakan bahkan doa yang sudah ditentukan secara resmi sebagai ungkapan bersama dan ada tindakan atau doa yang dilakukan sebagai keyakinan pribadi. Dalam tata liturgi, Doa Syukur Agung (DSA) adalah doa presidensial yang hanya diucapkan oleh pemimpin (imam). Karena yang ditanyakan soal seruan saat konsekrasi, yang adalah bagian penting dari DSA, maka tidak ada kata-kata yang diucapkan pada saat hosti dan anggur diperlihatkan kepada umat, baik oleh imam maupun umat. Dalam Pedoman Umum Misale Romawi Baru no 150 dikatakan: “Bila dianggap perlu, sesaat sebelum konsekrasi, putra altar dapat membunyikan bel sebagai tanda bagi umat. Demikian pula sesuai dengan kebiasaan setempat, pelayan dapat membunyikan bel pada saat hosti dan piala diperlihatkan kepada umat sesudah konsekrasi.”
Di Indonesia, dulu hingga sekarang dengan alasan keterlibatan dan partisipasi umat, DSA didoakan bersama-sama secara bergantian perpotongan doa atau yang sekarang masih ada walaupun hanya dalam bentuk sisipan. Lalu bagaimana dengan seruan pada saat konsekrasi itu? Saya justru setuju bahwa ketika hosti dan anggur di angkat, tidak ada rumusan doa sebagai tindakan bersama (= saat hening dan memandang serta menyatakan rasa hormat-sembah). Tetapi, kalau ada yang kemudian mengungkapkan rasa hormat-sembah itu dengan kata-kata, misal: “Ya Tuhanku dan Allahku”, itu merupakan tindakan pribadi (= disampaikan dalam hati sebagai jawaban pribadi atas apa yang diimaninya) dan tidak bisa diwajibkan atau dipaksakan orang lain harus mengucapkan.
Kesimpulannya bahwa pengucapan seruan itu bukan masalah tepat atau tidak tepat tetapi kalau hal itu dipandang sebagai doa ‘seruan’ pribadi, boleh-boleh saja, sehingga dua macam seruan di atas bisa dipakai atau bisa digunakan. Namun, sekali lagi asal seruan itu merupakan ungkapan atas pernyataan iman pribadi maka kita tidak bisa mengharuskan orang lain seperti Saudara. Begitu juga dengan gerakan liturgis atau sikap umat, karena bukan ungkapan kebersamaan, lihatlah ada yang mengiringi seruan itu dengan gerak menyembah sambil berlutut, atau hanya dengan memandang, atau bahkan ada yang berdiri sebagai ungkapan memberi hormat.
Semoga penjelasan ini sedikit membantu Saudara untuk lebih bisa menghayati iman akan kehadiran nyata Tuhan kita Yesus Kristus dalam Ekaristi dan bagaimana kita mengungkapkan iman itu. Tidak harus bersama-sama dan seragam tetapi bisa dihayati secara pribadi dengan aneka macam gerak liturgis.
